BAB I
PENDAHULUAN
Isu jender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan,
walaupun jender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Jender adalah
suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter, wacana jender mulai
ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London
tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi
menggantinya dengan isu Jender (gender discourse). Sebelumnya
istilah sex dan gender digunakan secara rancu.
Dimensi teologi jender masih belum banyak dibicarakan,
padahal persepsi masyarakat terhadap jender banyak bersumber dari tradisi
keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender (gender inequality)
dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Berbeda
dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata
sebagai konstruksi masyarakat (social construction).
Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke
patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara teori
itu ialah teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels yang mengemukakan bahwa
perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private
property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan perempuan
tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor
produksi
BAB II
GANGGUAN IDENTITAS
GENDER DAN
DISFUNGSI SEKSUAL
A. GANGGUAN IDENTITAS GENDER
1. Pengertian Identitas Gender
Gangguan
identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria
atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas
gendernya (Nevid, 2002).
Identitas
jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri
seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata,
identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam
diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan
perempuan.
Identitas
jenis kelamin (gender identity): keadaan psikologis yang mencerminkan
perasaan dalam (inner sense). Didasarkan pada sikap, perilaku, atribut
lainnya yang ditentukan secara kultural dan berhubungan dengan maskulinitas
atau femininitas.
Peran
jenis kelamin (gender role): pola perilaku eksternal yang mencerminkan
perasaan dalam (inner sense) dari identitas kelamin. Peran gender
berkaitan dengan pernyataan masyarakat tentang citra maskulin atau feminim.
Konsep
tentang normal dan abnormal dipengaruhi oleh factor social budaya, Perilaku
seksual dianggap normal apabila sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
dan dianggap abnormal apabila menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat.
Kriteria
diagnostic gangguan identitas gender: Identifikasi yang kuat dan menetap
terhadap gender lain:
a)
Berkeinginan kuat menjadi anggota gender lawan jenisnya
(berkeyakinan bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnnya)
b)
Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender
lawan jenisnya
c)
Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau melakukan
permainan yang dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya.
d)
Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas
permainan yang sesuai dengan stereotip lawan jenisnya
e)
Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender
lawan jenis (dimana biasanya pada usia anak – anak lebih tertarik untuk
mempunyai teman bermain dari gender yang sama). Pada remaja dan orang dewasa
dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya,
berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya.
f)
Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada
gender anatominya sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya.
g)
Tidak terdapat kondisi interseks.
h)
Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi
pekerjaan atau sosialisasi atau yang lainnya.
i)
Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja
ketika anak – anak mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat
terus berlangsung sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi
gay atau lesbian.
2.
Karakteristik Identitas Gender
Orang
dengan gangguan identitas gender, atau biasa disebut transeksual, merasa bahwa
dirinya adalah anggota jenis kelamin yang berlawanan. Orang dengan gangguan
identitas gender tidak menyukai pakaian ataupun aktivitas yang biasa dilakukan
orang dengan jenis kelaminnya, dan sering memilih untuk melakukan
cross-dressing. Transeksual pada umunya mengalami kecemasan atau depresi, yang
kemungkinan berkaitan dengan perlakuan negatif yang didapat dari masyarakat.
Gangguan
identitas gender biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, dan dapat terdeteksi
oleh orang tua sejak usia 2 hingga 4 tahun (Green & Blanchard, 1995).
Gangguan identitas gender lebih banyak terjadi pada laki-laki, dengan
perbandingan 6:1 (Zucker, Bradley, & Sanikhani, 1997).
3.
Awal mula Gangguan Identitas Gender
Gangguan
identitas gender bermula dari trauma dari orang tua yang berlawan jenis,
pergaulan individu, pengaruh media massa. Kaplan (2002), gangguan identitas
gender ditandai oleh perasaan kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap
jenis kelamin dan peran jenisnya. Gangguan ini biasanya muncul sejak masa
kanak-kanaak saat usia dua hingga empat tahun (Green dan Blanchard dalam
Fausiah, 2003).
Nevid
(2002) mengemukakan bahwa gangguan identitas gender dapat berawal dari masa
kanak-kanak dengan disertai distress terus menerus dan intensif,
bersikap seperti lawan jenis dan bergaul dengan lawan jenis, serta menolak
sifat anatomi mereka dengan adanya anak perempuan yang memaksa buang air kecil
sambil berdiri atau anak laki-laki yang menolak testis mereka.
4. Ciri-ciri
klinis dari gangguan identitas gender (Nevid, 2002):
a) Identifikasi yang kuat dan persisten terhadap gender
lainnya: adanya ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari
gender lain, preferensi untuk menggunakan pakaian gender lain, adanya fantasi
yang terus menerus mengenai menjadi lawan jenis, bermain dengan lawan jenis,
b) Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus menerus, biasa
muncul pada anak-anak dimana anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genitalnya
menjijikkan, menolak permainan laki-laki, sedangkan pada perempuan adanya
keinginan untuk tidak menumbuhkan buah dada, memaksa buang air kecil sambil
berdiri.
c) Penanganannya sama seperti menangani gangguan seksual
5. Faktor
– Faktor Penyebab
Saat
ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan
identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data
tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon,
namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme
hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan
kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang
konklusif.
Faktor
lain yang dianggap dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual
adalah faktor sosial dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi
reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan
erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas
gender yang diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993).
Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang
laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks
perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih
untuk hidup sebagai laki-laki.
Teori
belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki – laki
menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria. Teori psikodinamika dan
teori belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender
tidak dipengaruhi tipe sejarah keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya
berperan dalam mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya.
Orang
yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang
berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak –
anak. Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang
maskulin dan feminine dipengaruhi oleh hormone seks fase – fase tertentu dalam
perkembangan prenatal.
6. Terapi
a)
Body Alterations
Pada
terapi jenis ini, usaha yang dilakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar
sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang
terlebih dahulu diharuskan untuk mengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12
bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benjamin
International Gender Dysphoria Association, 1998). Perubahan yang dilakukan
antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut di wajah, serta
pengonsumsian hormon perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh
dengan melakukan operasi perubahan kelamin.
Keuntungan
operasi perubahan kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Di
satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan sosial yang
bisa didapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa
pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapat
keuntungan lain seperti kepuasan seksual yan lebih tinggi.
b)
Ganti kelamin
Sebelum
tindakan operasi kelamin ada beberapa hal yang harus diperhatikan individu. Ada
beberapa tahap yang harus dialaui sebelum tindakan operasi kelamin dilakukan.
Tahap – tahap tersebut adalah: Memastikan kemantapan dalam mengambil keputusan.
Jika terdapat delusi paranoid dalam memutuskan mengganti kelamin, maka ahli
bedah harus menolak permintaanya. Orang yang ingin merubah dari pria menjadi
wanita, estrogennya ditingkatkan untuk menumbuhkan karakteristik alat kelamin
sekunder wanita. Sedangkan pada wanita yang ingin menjadi pria, hormon
androgennya ditingkatkan untuk mengembangkan karakteristik alat kelamin
sekunder pria.
Sebelum
operasi diwajibkan hidup selama satu tahun sebagai orang dari gender lawan
jenisnya untuk memprediksi penyesuaian setelah operasi. Untuk orang yan
mengganti kelamin dari pria menjadi wanita, penis dan testis dibuang. Kemudian
jaringan dari penis digunakan untuk membuat vagina buatan. Jika dari wanita
menjadi pria, ahli bedah membuang organ kelamin internal dan meratakan
payudaranya dengan membuang jaringan lemak.
c) Pengubahan
Identitas Gender
Walaupun
sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai
terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas
gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender dianggp
mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus,
pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan
sukses. Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda
dengan transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi
pengubahan identitas gender.
B. DISFUNGSI SEKSUAL
1. Pengertian
Istilah
disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek
fungsi seksual (Pangkahila, 2006). Bila didefinisikan secara luas, disfungsi
seksual adalah ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh hubungan seks.
Secara khusus, disfungsi seksual adalah gangguan yang terjadi pada salah satu
atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal (Elvira, 2006).
Disfungsi seksual adalah gangguan di mana klien mengalami kesulitan untuk
berfungsi secara adequate ketika melakukan hubungan seksual. Sehingga disfungsi
seksual dapat terjadi apabila ada gangguan dari salah satu saja siklus respon
seksual.
2. Siklus
respon seksual
Menurut (Kolodny, Master, Johnson, 1979)
a) Fase
Perangsangan (Excitement Phase)
Perangsangan terjadi sebagai hasil dari pacuan yang dapat
berbentuk fisik atau psikis. Kadang fase perangsangan ini berlangsung singkat,
segera masuk ke fase plateau. pada saat yang lain terjadi lambat dan
berlangsung bertahap memerlukan waktu yang lebih lama.
Pemacu dapat berasal dari rangsangan erotik maupun non erotik, seperti pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran, dan mimpi.
Pemacu dapat berasal dari rangsangan erotik maupun non erotik, seperti pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran, dan mimpi.
Kenikmatan
seksual subjektif dan tanda-tanda fisiologis keterangsangan seksul: pada
laki-laki, penis yang membesar (peningkatan aliran darah yang memasuki penis);
pada perempuan, vasocongestion (darah mengumpul di daerah pelvis) yang
mengakibatkan lubrikasi vagina dan pembesaran payudara (putting susu yang
menegak).
b) Fase
Plateau
Pada fase ini, bangkitan seksual mencapai derajat tertinggi
yaitu sebelum mencapai ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya orgasme
(periode singkat sebelum orgasme).
c) Fase
Orgasme
Orgasme adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik
dan psikologik dalam aktivitas seks sebagai akibat pelepasan memuncaknya
ketegangan seksual (sexual tension) setelah terjadi fase rangsangan yang
memuncak pada fase plateau.
Pada laki-laki, perasaan akan mengalami ejakulasi yang tak
terhindarkan yang diikuti dengan ejakulasi; pada perempuan, kontraksi di
dinding sepertiga bagian bawah vagina.
d) Fase
Resolusi
Pada fase ini perubahan anatomik dan faal alat kelamin dan
luar alat kelamin yang telah terjadi akan kembali ke keadaan asal. Menurunnya
keterangsangan pasca-orgasme (terutama pada laki-laki). Sehingga adanya hambatan
atau gangguan pada salah satu siklus respon seksual diatas dapat menyebabkan
terjadinya disfungsi seksual.
Disfungsi seksual bias bersifat lifelong (seumur hidup) atau
acquired (didapat). Lifelong mengacu pada kondisi kronis yang muncul diseluruh
kehidupan seksual seseorang, sedangkan acquired mengacu pada gangguan yang
dumulai setelah aktivitas seksual seseorang relative normal. Selain itu
gangguan ini dapat bersifat generalized (menyeluruh), yang terjadi setiap kali
melakukan hubungan seksual, atau situational, yang terjadi hanya dengan
mitra-mitra atau pada waktu-waktu tertentu tetapi tidak dengan mitra-mitra lain
atau pada waktu-waktu lainnya.
3. Kategori
Disfungsi Seksual
Ikhtisasi terhadap kategori-kategori DSM-IV untuk disfungsi
seksual seperti terlihat pada table dibawah ini.
|
No
|
Tipe
Gangguan
|
Laki
– Laki
|
Perempuan
|
|
1.
|
Nafsu
/ Hasrat seksual
|
Gangguan
nafsu seksual hipoaktif (nafsu kecil atau sama sekali tidak ada untuk
melakukan hubungan seksaul)
|
Gangguan
nafsu seksual hipoaktif (nafsukecil atau tidak ada nafsu seksual)
|
|
2.
|
Rangsangan
|
Gangguan aversi seksual (aversi dan
penghindaran terhadap seks).
|
Gangguan aversi seksual (aversi dan
penghindaran terhadap seks).
|
|
3.
|
Orgasme
|
Gangguan
ereksi pada laki-laki (kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi
penis).
|
Gangguan rangasangan seksual pada
perempuan (kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan lubrikasi atau
respons pembesaran vagina).
|
|
4.
|
Rasa
nyeri/sakit
|
Hambatan
orgasme pada laki-laki
Ejakulasi dini.
Dispareunia
(nyeri yang berhubungan dengan aktivitas seksual)
|
Hambatan
orgasme pada perempuan.
Dispareunia
(nyeri
yang berhubungan dengan aktivitas seksual)
Vaginismus
(spasme otot vagina yang mengganggu penetrasi penis).
|
Pada kedua jenis kelamin, gangguan-gangguan seksual
dengan versi-versinya hampir sama. Hanya ada beberapa gangguan yang spesifik,
seperti ejakulasi dini pada laki-laki dan vaginismus hanya terjadi pada
perempuan.
4.
Etiologi Disfungsi Seksual
Pada
dasarnya disfungsi seksual dapat terjadi baik pada pria ataupun wanita,
etiologi disfungsi seksual dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a) Faktor
fisik
Gangguan
organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu atau
fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang terganggu dapat menyebabkan
disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006).
Faktor
fisik yang sering mengganggu seks pada usia tua sebagian karena
penyakit-penyakit kronis yang tidak jelas terasa atau tidak diketahui gejalanya
dari luar. Makin tua usia makin banyak orang yang gagal melakukan koitus atau
senggama (Tobing, 2006). Kadang-kadang penderita merasakannya sebagai gangguan
ringan yang tidak perlu diperiksakan dan sering tidak disadari (Raymond Rosen.,
et al, 1998).
Dalam
Product Monograph Levitra (2003) menyebutkan berbagai faktor resiko untuk
menderita disfungsi seksual sebagai berikut:
· Gangguan
vaskuler pembuluh darah, misalnya gangguan arteri koronaria.
· Penyakit
sistemik, antara lain diabetes melitus, hipertensi (HTN), hiperlipidemia
(kelebihan lemak darah).
· Gangguan
neurologis seperti pada penyakit stroke, multiple sklerosis.
· Faktor
neurogen yakni kerusakan sumsum belakang dan kerusakan saraf.
· Gangguan
hormonal, menurunnya testosteron dalam darah (hipogonadisme) dan
hiperprolaktinemia.
· Gangguan
anatomi penis seperti penyakit peyronie (penis bengkok).
· Faktor
lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, dan obesitas.
Beberapa
obat-obatan anti depresan dan psikotropika menurut penelitian juaga dapat
mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual, antara lain: barbiturat,
benzodiazepin, selective serotonin seuptake inhibitors (SSRI), lithium,
tricyclic antidepressant (Tobing, 2006).
b) Faktor
psikis
Faktor psikoseksual ialah semua faktor kejiwaan yang
terganggu dalam diri penderita. Gangguan ini mencakup gangguan jiwa misalnya
depresi, anxietas (kecemasan) yang menyebabkan disfungsi seksual. Pada orang
yang masih muda, sebagian besar disfungsi seksual disebabkan faktor
psikoseksual. Kondisi fisik terutama organ-organnya masih kuat dan normal
sehingga jarang sekali menyebabkan terjadinya disfungsi seksual (Tobing, 2006).
Tetapi apapun etiologinya, penderita akan mengalami
problema psikis, yang selanjutnya akan memperburuk fungsi seksualnya. Disfungsi
seksual pria yang dapat menimbulkan disfungsi seksual pada wanita juga (
Abdelmassih, 1992, Basson, R, et al., 2000).
Masalah psikis meliputi perasaan bersalah, trauma
hubungan seksual, kurangnya pengetahuan tentang seks, dan keluarga tidak
harmonis (Susilo, 1994, Pangkahila, 2001, 2006, Richard, 1992).
5.
Penyebab dan Penanganan Disfungsi
Seksual
Disfungsi
seksual baik yang terjadi pada pria ataupun wanita dapat dapat mengganggu
keharmonisan kehidupan seksual dan kualitas hidup, oleh karena itu perlu
penatalaksanaan yang baik dan ilmiah.
Prinsip
penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan wanita adalah sebagai
berikut (Susilo, 1994; Pangkahila, 2001; Richardson, 1991):
- Membuat
diagnosa dari disfungsi seksual
- Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
- Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi
seksual
- Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual,
yang terdiri dari pengobatan bedah dan pengobatan non bedah (konseling
seksual dan sex theraphy, obat-obatan, alat bantu seks, serta pelatihan
jasmani).
Pada kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa
masalah disfungsi seksual. Diantara yang paling sering terjadi adalah pasien
tidak dapat mengutarakan masalahnya semua kepada dokter, serta perbedaan
persepsi antara pasien dan dokter terhadap apa yang diceritakan pasien. Banyak
pasien dengan disfungsi seksual membutuhkan konseling seksual dan terapi,
tetapi hanya sedikit yang peduli (Philips, 2000).
Oleh karena masalah disfungsi seksual melibatkan
kedua belah pihak yaitu pria dan wanita, dimana masalah disfungsi seksual pada
pria dapat menimbulkan disfungsi seksual ataupun stres pada wanita, begitu juga
sebaliknya, maka perlu dilakukan dual sex theraphy. Baik itu dilakukan sendiri
oleh seorang dokter ataupun dua orang dokter dengan wawancara keluhan terpisah
(Barry, Hodges, 1987).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terapi
atau penanganan disfungsi seksual pada kenyataanya tidak mudah dilakukan,
sehingga diperlukan diagnosa yang holistik untuk mengetahui secara tepat
etiologi dari disfungsi seksual yang terjadi, sehingga dapat dilakukan
penatalaksanaan yang tepat pula.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa
bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi
gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 2002).
Istilah
disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek
fungsi seksual (Pangkahila, 2006). Bila didefinisikan secara luas, disfungsi
seksual adalah ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh hubungan seks.
Secara khusus, disfungsi seksual adalah gangguan yang terjadi pada salah satu
atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal (Elvira, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Durank, Mark dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Buku
kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pangkahila. 2007
V.
Mark Durank & David H. Barlow.2006.Psikologi Abnotmal.Yoryakarta:
Pustaka Pelajar
Fausiah,
Fitri. (2003). Bahan ajar mata kuliah psikologi abnormal (klinis dewasa).
Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kaplan,
Harold I., Sadock, Benjamin J, Grebb, Jack A. (2002). Sinopsis psikiatri ilmu
pengetahuan psiatri klinis. Jakarta : Binarupa Aksara.
Nevid,
Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. (2002). Psikologi abnormal
jilid dua edisi kelima. Jakarta : Erlangga
No comments:
Post a Comment