Wednesday, December 28, 2016

GANGGUAN IDENTITAS GENDER DAN DISFUNGSI SEKSUAL

BAB I
PENDAHULUAN

Isu jender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan, walaupun jender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Jender adalah suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter, wacana jender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Jender (gender discourse). Sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu.

Dimensi teologi jender masih belum banyak dibicarakan, padahal persepsi masyarakat terhadap jender banyak bersumber dari tradisi keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender (gender inequality) dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Berbeda dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction).

Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara teori itu ialah teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels yang mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor produksi









BAB II
GANGGUAN IDENTITAS GENDER DAN
DISFUNGSI SEKSUAL

A.  GANGGUAN IDENTITAS GENDER
1.    Pengertian Identitas Gender
Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 2002).

Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata, identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.

Identitas jenis kelamin (gender identity): keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense). Didasarkan pada sikap, perilaku, atribut lainnya yang ditentukan secara kultural dan berhubungan dengan maskulinitas atau femininitas.

Peran jenis kelamin (gender role): pola perilaku eksternal yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense) dari identitas kelamin. Peran gender berkaitan dengan pernyataan masyarakat tentang citra maskulin atau feminim.

Konsep tentang normal dan abnormal dipengaruhi oleh factor social budaya, Perilaku seksual dianggap normal apabila sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap abnormal apabila menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat.


Kriteria diagnostic gangguan identitas gender: Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap gender lain:
a)    Berkeinginan kuat menjadi anggota gender lawan jenisnya (berkeyakinan bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnnya)
b)   Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender lawan jenisnya
c)    Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau melakukan permainan yang dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya.
d)   Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas permainan yang sesuai dengan stereotip lawan jenisnya
e)    Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia anak – anak lebih tertarik untuk mempunyai teman bermain dari gender yang sama). Pada remaja dan orang dewasa dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya, berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya.
f)    Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada gender anatominya sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya.
g)   Tidak terdapat kondisi interseks.
h)   Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi pekerjaan atau sosialisasi atau yang lainnya.
i)     Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja ketika anak – anak mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat terus berlangsung sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi gay atau lesbian.

2.    Karakteristik Identitas Gender
Orang dengan gangguan identitas gender, atau biasa disebut transeksual, merasa bahwa dirinya adalah anggota jenis kelamin yang berlawanan. Orang dengan gangguan identitas gender tidak menyukai pakaian ataupun aktivitas yang biasa dilakukan orang dengan jenis kelaminnya, dan sering memilih untuk melakukan cross-dressing. Transeksual pada umunya mengalami kecemasan atau depresi, yang kemungkinan berkaitan dengan perlakuan negatif yang didapat dari masyarakat.
Gangguan identitas gender biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, dan dapat terdeteksi oleh orang tua sejak usia 2 hingga 4 tahun (Green & Blanchard, 1995). Gangguan identitas gender lebih banyak terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan 6:1 (Zucker, Bradley, & Sanikhani, 1997).

3.    Awal mula Gangguan Identitas Gender
Gangguan identitas gender bermula dari trauma dari orang tua yang berlawan jenis, pergaulan individu, pengaruh media massa. Kaplan (2002), gangguan identitas gender ditandai oleh perasaan kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin dan peran jenisnya. Gangguan ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanaak saat usia dua hingga empat tahun (Green dan Blanchard dalam Fausiah, 2003).

Nevid (2002) mengemukakan bahwa gangguan identitas gender dapat berawal dari masa kanak-kanak dengan disertai distress terus menerus dan intensif, bersikap seperti lawan jenis dan bergaul dengan lawan jenis, serta menolak sifat anatomi mereka dengan adanya anak perempuan yang memaksa buang air kecil sambil berdiri atau anak laki-laki yang menolak testis mereka.

4.    Ciri-ciri klinis dari gangguan identitas gender (Nevid, 2002):
a) Identifikasi yang kuat dan persisten terhadap gender lainnya: adanya ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lain, preferensi untuk menggunakan pakaian gender lain, adanya fantasi yang terus menerus mengenai menjadi lawan jenis, bermain dengan lawan jenis,
b) Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus menerus, biasa muncul pada anak-anak dimana anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genitalnya menjijikkan, menolak permainan laki-laki, sedangkan pada perempuan adanya keinginan untuk tidak menumbuhkan buah dada, memaksa buang air kecil sambil berdiri.
c) Penanganannya sama seperti menangani gangguan seksual


5.  Faktor – Faktor Penyebab
Saat ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.

Faktor lain yang dianggap dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki.

Teori belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki – laki menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria. Teori psikodinamika dan teori belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan dalam mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya.

Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak – anak. Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine dipengaruhi oleh hormone seks fase – fase tertentu dalam perkembangan prenatal.
6. Terapi
a)    Body Alterations
Pada terapi jenis ini, usaha yang dilakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih dahulu diharuskan untuk mengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association, 1998). Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut di wajah, serta pengonsumsian hormon perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan kelamin.

Keuntungan operasi perubahan kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Di satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan sosial yang bisa didapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapat keuntungan lain seperti kepuasan seksual yan lebih tinggi.

b)   Ganti kelamin
Sebelum tindakan operasi kelamin ada beberapa hal yang harus diperhatikan individu. Ada beberapa tahap yang harus dialaui sebelum tindakan operasi kelamin dilakukan. Tahap – tahap tersebut adalah: Memastikan kemantapan dalam mengambil keputusan. Jika terdapat delusi paranoid dalam memutuskan mengganti kelamin, maka ahli bedah harus menolak permintaanya. Orang yang ingin merubah dari pria menjadi wanita, estrogennya ditingkatkan untuk menumbuhkan karakteristik alat kelamin sekunder wanita. Sedangkan pada wanita yang ingin menjadi pria, hormon androgennya ditingkatkan untuk mengembangkan karakteristik alat kelamin sekunder pria.

Sebelum operasi diwajibkan hidup selama satu tahun sebagai orang dari gender lawan jenisnya untuk memprediksi penyesuaian setelah operasi. Untuk orang yan mengganti kelamin dari pria menjadi wanita, penis dan testis dibuang. Kemudian jaringan dari penis digunakan untuk membuat vagina buatan. Jika dari wanita menjadi pria, ahli bedah membuang organ kelamin internal dan meratakan payudaranya dengan membuang jaringan lemak.

c)    Pengubahan Identitas Gender
Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender dianggp mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan sukses. Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi pengubahan identitas gender.

B.  DISFUNGSI SEKSUAL
1.    Pengertian
Istilah disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek fungsi seksual (Pangkahila, 2006). Bila didefinisikan secara luas, disfungsi seksual adalah ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh hubungan seks. Secara khusus, disfungsi seksual adalah gangguan yang terjadi pada salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal (Elvira, 2006). Disfungsi seksual adalah gangguan di mana klien mengalami kesulitan untuk berfungsi secara adequate ketika melakukan hubungan seksual. Sehingga disfungsi seksual dapat terjadi apabila ada gangguan dari salah satu saja siklus respon seksual.


2.    Siklus respon seksual
Menurut (Kolodny, Master, Johnson, 1979)
a)   Fase Perangsangan (Excitement Phase)
Perangsangan terjadi sebagai hasil dari pacuan yang dapat berbentuk fisik atau psikis. Kadang fase perangsangan ini berlangsung singkat, segera masuk ke fase plateau. pada saat yang lain terjadi lambat dan berlangsung bertahap memerlukan waktu yang lebih lama.
Pemacu dapat berasal dari rangsangan erotik maupun non erotik, seperti pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran, dan mimpi.
Kenikmatan seksual subjektif dan tanda-tanda fisiologis keterangsangan seksul: pada laki-laki, penis yang membesar (peningkatan aliran darah yang memasuki penis); pada perempuan, vasocongestion (darah mengumpul di daerah pelvis) yang mengakibatkan lubrikasi vagina dan pembesaran payudara (putting susu yang menegak).
b)   Fase Plateau
Pada fase ini, bangkitan seksual mencapai derajat tertinggi yaitu sebelum mencapai ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya orgasme (periode singkat sebelum orgasme).
c)    Fase Orgasme
Orgasme adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik dan psikologik dalam aktivitas seks sebagai akibat pelepasan memuncaknya ketegangan seksual (sexual tension) setelah terjadi fase rangsangan yang memuncak pada fase plateau.
Pada laki-laki, perasaan akan mengalami ejakulasi yang tak terhindarkan yang diikuti dengan ejakulasi; pada perempuan, kontraksi di dinding sepertiga bagian bawah vagina.
d)   Fase Resolusi
Pada fase ini perubahan anatomik dan faal alat kelamin dan luar alat kelamin yang telah terjadi akan kembali ke keadaan asal. Menurunnya keterangsangan pasca-orgasme (terutama pada laki-laki). Sehingga adanya hambatan atau gangguan pada salah satu siklus respon seksual diatas dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual.
Disfungsi seksual bias bersifat lifelong (seumur hidup) atau acquired (didapat). Lifelong mengacu pada kondisi kronis yang muncul diseluruh kehidupan seksual seseorang, sedangkan acquired mengacu pada gangguan yang dumulai setelah aktivitas seksual seseorang relative normal. Selain itu gangguan ini dapat bersifat generalized (menyeluruh), yang terjadi setiap kali melakukan hubungan seksual, atau situational, yang terjadi hanya dengan mitra-mitra atau pada waktu-waktu tertentu tetapi tidak dengan mitra-mitra lain atau pada waktu-waktu lainnya.

3.    Kategori Disfungsi Seksual
Ikhtisasi terhadap kategori-kategori DSM-IV untuk disfungsi seksual seperti terlihat pada table dibawah ini.
No
Tipe Gangguan
Laki – Laki
Perempuan
1.

Nafsu / Hasrat seksual
Gangguan nafsu seksual hipoaktif (nafsu kecil atau sama sekali tidak ada untuk melakukan hubungan seksaul)
Gangguan nafsu seksual hipoaktif (nafsukecil atau tidak ada nafsu seksual)
2.
Rangsangan
Gangguan aversi seksual (aversi dan penghindaran terhadap seks).
Gangguan aversi seksual (aversi dan penghindaran terhadap seks).
3.


Orgasme


Gangguan ereksi pada laki-laki (kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis).
Gangguan rangasangan seksual pada perempuan (kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan lubrikasi atau respons pembesaran vagina).
4.
Rasa nyeri/sakit
Hambatan orgasme pada laki-laki
Ejakulasi dini.
Dispareunia (nyeri yang berhubungan dengan aktivitas seksual)
Hambatan orgasme pada perempuan.
Dispareunia (nyeri yang berhubungan dengan aktivitas seksual)
Vaginismus (spasme otot vagina yang mengganggu penetrasi penis).
Pada kedua jenis kelamin, gangguan-gangguan seksual dengan versi-versinya hampir sama. Hanya ada beberapa gangguan yang spesifik, seperti ejakulasi dini pada laki-laki dan vaginismus hanya terjadi pada perempuan.

4.    Etiologi Disfungsi Seksual
Pada dasarnya disfungsi seksual dapat terjadi baik pada pria ataupun wanita, etiologi disfungsi seksual dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a)   Faktor fisik
Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang terganggu dapat menyebabkan disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006).
Faktor fisik yang sering mengganggu seks pada usia tua sebagian karena penyakit-penyakit kronis yang tidak jelas terasa atau tidak diketahui gejalanya dari luar. Makin tua usia makin banyak orang yang gagal melakukan koitus atau senggama (Tobing, 2006). Kadang-kadang penderita merasakannya sebagai gangguan ringan yang tidak perlu diperiksakan dan sering tidak disadari (Raymond Rosen., et al, 1998).
Dalam Product Monograph Levitra (2003) menyebutkan berbagai faktor resiko untuk menderita disfungsi seksual sebagai berikut:
·  Gangguan vaskuler pembuluh darah, misalnya gangguan arteri koronaria. 
·  Penyakit sistemik, antara lain diabetes melitus, hipertensi (HTN), hiperlipidemia (kelebihan lemak darah).
·  Gangguan neurologis seperti pada penyakit stroke, multiple sklerosis.
·  Faktor neurogen yakni kerusakan sumsum belakang dan kerusakan saraf.
·  Gangguan hormonal, menurunnya testosteron dalam darah (hipogonadisme) dan hiperprolaktinemia.
·  Gangguan anatomi penis seperti penyakit peyronie (penis bengkok).
·  Faktor lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, dan obesitas.
Beberapa obat-obatan anti depresan dan psikotropika menurut penelitian juaga dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual, antara lain: barbiturat, benzodiazepin, selective serotonin seuptake inhibitors (SSRI), lithium, tricyclic antidepressant (Tobing, 2006).

b)   Faktor psikis
Faktor psikoseksual ialah semua faktor kejiwaan yang terganggu dalam diri penderita. Gangguan ini mencakup gangguan jiwa misalnya depresi, anxietas (kecemasan) yang menyebabkan disfungsi seksual. Pada orang yang masih muda, sebagian besar disfungsi seksual disebabkan faktor psikoseksual. Kondisi fisik terutama organ-organnya masih kuat dan normal sehingga jarang sekali menyebabkan terjadinya disfungsi seksual (Tobing, 2006).
Tetapi apapun etiologinya, penderita akan mengalami problema psikis, yang selanjutnya akan memperburuk fungsi seksualnya. Disfungsi seksual pria yang dapat menimbulkan disfungsi seksual pada wanita juga ( Abdelmassih, 1992, Basson, R, et al., 2000).
Masalah psikis meliputi perasaan bersalah, trauma hubungan seksual, kurangnya pengetahuan tentang seks, dan keluarga tidak harmonis (Susilo, 1994, Pangkahila, 2001, 2006, Richard, 1992).

5.    Penyebab dan Penanganan Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual baik yang terjadi pada pria ataupun wanita dapat dapat mengganggu keharmonisan kehidupan seksual dan kualitas hidup, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang baik dan ilmiah.
Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan wanita adalah sebagai berikut (Susilo, 1994; Pangkahila, 2001; Richardson, 1991):
  1. Membuat diagnosa dari disfungsi seksual 
  2. Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
  3. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
  4. Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari pengobatan bedah dan pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex theraphy, obat-obatan, alat bantu seks, serta pelatihan jasmani).
Pada kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa masalah disfungsi seksual. Diantara yang paling sering terjadi adalah pasien tidak dapat mengutarakan masalahnya semua kepada dokter, serta perbedaan persepsi antara pasien dan dokter terhadap apa yang diceritakan pasien. Banyak pasien dengan disfungsi seksual membutuhkan konseling seksual dan terapi, tetapi hanya sedikit yang peduli (Philips, 2000).
Oleh karena masalah disfungsi seksual melibatkan kedua belah pihak yaitu pria dan wanita, dimana masalah disfungsi seksual pada pria dapat menimbulkan disfungsi seksual ataupun stres pada wanita, begitu juga sebaliknya, maka perlu dilakukan dual sex theraphy. Baik itu dilakukan sendiri oleh seorang dokter ataupun dua orang dokter dengan wawancara keluhan terpisah (Barry, Hodges, 1987).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terapi atau penanganan disfungsi seksual pada kenyataanya tidak mudah dilakukan, sehingga diperlukan diagnosa yang holistik untuk mengetahui secara tepat etiologi dari disfungsi seksual yang terjadi, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat pula.















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 2002).

Istilah disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek fungsi seksual (Pangkahila, 2006). Bila didefinisikan secara luas, disfungsi seksual adalah ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh hubungan seks. Secara khusus, disfungsi seksual adalah gangguan yang terjadi pada salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal (Elvira, 2006).












DAFTAR PUSTAKA
Durank, Mark dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Buku kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pangkahila. 2007

V. Mark Durank & David H. Barlow.2006.Psikologi Abnotmal.Yoryakarta: Pustaka Pelajar

Fausiah, Fitri. (2003). Bahan ajar mata kuliah psikologi abnormal (klinis dewasa). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J, Grebb, Jack A. (2002). Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan psiatri klinis. Jakarta : Binarupa Aksara.

Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. (2002). Psikologi abnormal jilid dua edisi kelima. Jakarta : Erlangga


No comments:

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TRANSPLANTASI GINJAL

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.            Latar Belakang Transplantasi ginjal adalah pengambilan ginjal dari tubuh seseorang kemudian dican...